KAIMANA, PapuaStar.com— Ketika dunia berlindung dari ancaman COVID-19, para tenaga kesehatan di RSUD Kaimana justru maju di garis depan—melayani tanpa lelah, bahkan mempertaruhkan nyawa. Namun, bukannya penghargaan yang didapat, mereka justru harus menelan kenyataan pahit: insentif dipotong, jasa pelayanan tak dibayarkan, dan keadilan tak kunjung datang.
Dari bulan Januari hingga Juli 2021, insentif COVID-19 yang seharusnya menjadi hak petugas medis diduga dipotong secara sepihak oleh direktur rumah sakit saat itu.
Tenaga medis, khususnya perawat dan bidan yang aktif menangani pasien COVID-19, dipaksa menyetujui pemotongan tersebut dengan tekanan. Modusnya: mereka diminta menandatangani dua kwitansi—satu sesuai nilai hak penuh, dan satu lagi dengan jumlah yang telah dipangkas.
Besaran potongan mencapai angka yang sangat mencolok, bahkan hingga Rp16.500.000 – Rp.20.000.000 per orang.
Parahnya lagi, dana hasil potongan itu justru dibagikan kepada hampir seluruh pegawai rumah sakit, termasuk mereka yang tidak menangani pasien COVID-19 sama sekali.
Padahal, sesuai dengan regulasi resmi dari Kementerian Kesehatan, insentif hanya diperuntukkan bagi tenaga yang bersentuhan langsung dengan pasien COVID-19—seperti tenaga IGD, ruang isolasi, ICU, laboratorium, dan radiologi COVID.
Lebih ironis, dana yang dibagikan ke petugas lain ternyata tidak sebanding dengan total potongan yang dilakukan. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: ke mana sebenarnya dana-dana itu mengalir?
Kejanggalan tak berhenti di sana. Jasa pelayanan (jaspel) COVID-19 tahun 2021 yang seharusnya dibayarkan kepada petugas hingga kini tak pernah diberikan. Pihak rumah sakit berdalih tidak ada surat dari Dinas Kesehatan terkait layanan laboratorium, namun alasan itu dipertanyakan banyak pihak karena jaspel COVID-19 tahun 2022 dapat dicairkan tanpa kendala. Bahkan sempat beredar pernyataan bahwa dana jaspel 2021 telah dipakai sementara untuk membayar jasa pelayanan umum. Tapi setelah itu, dana tersebut menghilang tanpa laporan resmi, penelusuran, atau pertanggungjawaban.
Lebih memperihatinkan, direktur yang diduga memerintahkan pemotongan ini juga disebut-sebut pernah terlibat dalam kasus asusila pada tahun sebelumnya, yang memperkuat dugaan penyalahgunaan kekuasaan selama masa jabatannya. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi mencerminkan persoalan moral, etik, dan integritas yang jauh lebih dalam.
Kini, para tenaga kesehatan yang berjasa menangani pandemi hanya bisa menunggu. Bukan lagi menunggu bayaran, tetapi menunggu keadilan. Mereka meminta pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga pengawas keuangan, dan Kementerian Kesehatan untuk segera turun tangan—melakukan audit menyeluruh, investigasi tuntas, dan menindak tegas para pelaku sesuai hukum yang berlaku.
Ini bukan hanya soal uang. Ini adalah soal harga diri profesi, hak kemanusiaan, dan masa depan institusi pelayanan publik. Jika pelanggaran seperti ini dibiarkan, maka pesan yang tersampaikan kepada publik adalah: tidak ada perlindungan bagi mereka yang berjuang.
Kaimana dan Indonesia butuh contoh bahwa hukum masih berpihak pada yang benar. Bahwa keringat dan pengorbanan tenaga medis tidak boleh dipermainkan. Dan bahwa kebenaran—meski terlambat—harus tetap ditegakkan.